Pages

Minggu, 20 Januari 2019

PLTN Fissi Thorium Lebih Aman dibanding PLTN Uranium

PLTN dengan bahan bakar (BB) berbasis thorium (Th) makin menarik perhatian dunia apalagi bila dikaitkan dengan kecelakaan nuklir di Fukushima (PLTN Uranium). Tanggal 25 Januari 2011, beberapa minggu sebelum gempa dan tsunami yang merusak PLTN Fukushima di Jepang, China mengumumkan ambisinya untuk membangun PLTN berbasis Thorium dalam jangka waktu 20 tahun. Salah satu pilihan China jatuh kepada jenis reaktor yang disebut oleh China dengan istilah TMSR (Thorium Molten-Salt Reactor), Reaktor Garam Cair Thorium.

Seperti diketahui, Reaktor Thorium Fluorida Cair (LFTR = the Liquid Fluoride Thorium Reactor, yang disebut 'Lifter') adalah reaktor generasi IV yang menggunakan campuran garam cair ThF4-U233F4 sebagai BB sekaligus sebagai pendingin reaktor yang disirkulasikan melalui teras reaktor dan penukar panas yang memanasi gas Helium sebagai media hingga 930C dan gas He tersebut diumpankan ke turbin gas dan balik ke penukar panas dalam siklus tertutup. Turbin akan menggerakkan generator listrik. 

BB berbasis Th dalam bentuk garam cair tsb tidak memerlukan fabrikasi BB, sehingga struktur reaktor menjadi sederhana, derajat bakar (burn-up) merata, BB cair dapat diganti dengan BB segar dan diproses-ulang secara online sekaligus racun netron Xe-135 dan Kr-83 dapat dibuang secara sinambung. Sementara, produk fissi lainnya, misalnya molebdinum dan iodine (setelah melalui proses ekstraksi) dapat digunakan untuk keperluan medis. Akibatnya, jenis reaktor Th semacam itu dapat terus menerus menyala sampai tua dengan derajat bakar tak terbatas.

PLTN berbasis Th lebih aman, karena Th-232 harus dibombardir oleh sumber netron lambat dari luar secara sinambung (bisa via akselerator / sinar foton / inti Pu seperti yang dikembangkan di India) untuk mengubahnya menjadi U-233 agar dapat melakukan reaksi fissi, karena tidak mempunyai reaksi rantai, dan tidak cukup netron untuk melanjutkan reaksi fissi. Bila sumber netron disingkirkan, reaktor akan mati. Bila reaktor mengalami kelebihan panas (seperti di Fukushima), sumbat kecil di bawah bejana pengungkung reaktor akan meleleh dan larutan garam Th mengucur ke bawah akibat gaya berat ke tangki bawah tanah yang telah disediakan, dan hal itu tidak memerlukan komputer atau pompa listrik yang bisa saja lumpuh oleh tsunami. Reaktor berbasis Th mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Reaktor beroperasi pada tekanan atmosferik, tidak ada gas hidrogen yang dapat meledak, lebih bersih, lebih murah dengan limbah nuklir yang dihasilkan lebih sedikit.

Aspek menarik lain dari Th pemancar alpha ini adalah tidak memerlukan proses pemisahan isotop (U memerlukan proses ini untuk memperoleh bahan fissil U-235 dari 0,7 % menjadi 3-5 % yang menelan biaya cukup besar), dan U-233 yang diperoleh tidak dengan mudah dapat dibuat senjata nuklir karena adanya kontaminan U-232. Oleh karena itu, PLTN berbasis Th dengan BB jenis garam cair cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia, sekaligus menghapus kecurigaan negara maju, karena pengguna PLTN berbasis Th sulit membuat senjata nuklir. Sebaliknya, PLTN U di dunia memproduksi isotop Pu yang bila diproses-ulang, Pu-239 dapat digunakan sebagai senjata nuklir.

Energi yang dilepaskan oleh Th ketika melakukan reaksi fissi cukup mengesankan. Dr. Rubbia, pemenang nobel Fisika 1984 mengatakan bahwa satu ton logam Th menghasilkan energi setara dengan 300 ton U (alam) atau 3.500.000 ton batu bara untuk energi listrik 1 GWe. Reaktor Th dapat mengkonsumsi limbahnya sendiri dan menggunakan Pu sebagai sumber netron sekaligus mengurangi jumlah Pu yang diproduksi oleh PLTN uranium, sehingga reaktor Th dianggap pula berfungsi sebagai pembersih lingkungan. 

AS mengembangkan Th sejak tahun 1940an, tetapi kebutuhan senjata nuklir U & Pu diprioritaskan lebih dulu. Dana yang dikeluarkan oleh Amerika dan Eropa untuk mengembangkan teknologi BB nuklir U & Pu sangat besar, sehingga mereka tidak ingin melepaskan teknologi itu begitu saja untuk beralih ke Th. Purwarupa pembiak garam molten pertama pernah dibangun di Oak Ridge (7,4 MW), AS pada tahun 1950 yang beroperasi tahun 1965 hingga 1969. 

Perusahaan Amerika, Thorium Power (sekarang Lightbridge) yang melakukan riset intensif dan bekerja pada desain nuklir berbasis Thorium membuktikan bahwa BB berbasis Th dapat digunakan di reaktor LWR dan jenis reaktor lainnya tanpa perubahan desain reaktor yang berarti. 

Sementara, perusahaan Flibe ( Fluoride salt of Lithium and Beryllium) Energy, yang berasal dari Huntsville, Alabama, AS, diam-diam mengumumkan kehadirannya dengan teknologi reaktor thorium garam cair, LiF (Lithium Fluorida) dan BeF2 (Berilium Fluorida) yang berdasarkan teknologi LFTR. Flibe mengadopsi teknologi tsb dari ORNL, dengan karakteristik beroperasi pada tekanan atmosferik, modular, dan daya 20-30 MW sekitar $100juta awal (menjadi setengahnya bila diproduksi massal).

PLTT Fuji, 150MWe
Perusahaan swasta ThEMS (Thorium Energy & Molten-Salt Technology Inc) didirikan oleh Kazuo Furukawa, perancang reaktor Fuji (Mini Fuji), bertujuan pula untuk memproduksi listrik menggunakan reaktor Th kecil (10 kW) dalam 5 tahun ke depan. ThEMS bertujuan menjual listriknya sekitar 11 UScent per kWh (6,8 p/kWh) jauh lebih murah ketimbang feed-in tariff Inggris yang berkisar antara 34,5 p/kWh untuk turbin angin kecil hingga 41,3 p/kWh untuk instalasi surya.
Konsep lain adalah ISMR (Integral Molten Salt Reactor) yang ditemukan oleh Terrestrial Energy (2013, rancangan Dr. D. Leblanc), perusahaan Canada. Reaktor diganti setiap 7 tahun sekali. Ada dua reaktor tersedia (bersebelahan). Reaksi nuklir penghasil listrik dilakukan secara bergantian (setiap 7 tahun) yang berisi campuran garam fluorida thorium dan uranium berpengayaan rendah. Risiko reaktor nuklir konvensional seperti 1) kehilangan pendingin & pemungutan panas bahang; 2) produksi hidrogen; 3) tekanan operasi yang amat tinggi; dihindarkan oleh IMSR ini.

PLTN Kakrapar-1
India berencana 30% kebutuhan listriknya berasal dari PLTN berbasis Th pada tahun 2050 nanti. Hal itu memungkinkan, karena India memiliki sekitar 25% cadangan Th dunia (lebih dari 932.000 ton). Upaya itu telah dirintisnya sejak awal, sehingga India sekarang memimpin dunia dalam perancangan reaktor nuklir berbasis Th. Sebuah reaktor mini 30 kW dengan BB berbasis Th telah sukses dioperasikan di reaktor Kamini di Kalpakkam, India. Kesuksesan itu mendorong India untuk memasang BB berbasis Th pada PLTN-nya. PLTN Kakrapar-1, di kota Surat, Gujarat, adalah reaktor yang pertama kali menggunakan BB berbasis Th di dunia, dan menggunakan akselerator Pu dalam teras reaktor. Percobaan menggunakan 500 kg Th pada Kakrapar-1 dan Kakrapar-2 dilakukan pada tahun 1995. Kakrapar-1 mencapai operasi daya penuh selama 300 hari, dan Kakrapar-2 mencapai operasi daya penuh selama 100 hari.

Desain PLTN berbasis Th (300 MW) Kakrapar-1 menggunakan reaktor maju air berat bertekanan (AHWR) telah diselesaikan th 2014 dan akan beroperasi paling lambat tahun 2025. Dalam desain itu, bahan bakar di bagian tengah teras berupa 30 batang oksida Th-233/U-233 yang dikelilingi oleh 24 batang oksida Th-233/Pu-239. Konfigurasi itu cukup menyediakan U-233 yang mandiri dengan menghasilkan keluaran tenaga nuklir sebesar 60%, yang diharapkan beroperasi selama 100 tahun. India menggunakan Th pula pada 5 reaktor lainnya, yaitu di Kakrapar-2, Kaiga-1, Kaiga-2, Rajasthan-3 (Rawatbhata-3), dan Rajasthan-4.

Hasil-hasil penelitian India mendorong Amerika, Rusia (Institut Kurchatov Moskow), dan baru-baru ini Norwegia dan Polandia untuk melakukan penelitian lebih dalam. Penelitian yang melibatkan Th di Julich (Jerman), Winfrith (UK), dan Peach Bottom (AS) dihidupkan kembali yang sebelumnya sudah pernah mereka lakukan.

Pemanfaatan Thorium di Indonesia
Thorium dari slag Timah, Babel
Thorium ditemukan tersedia cukup melimpah di Indonesia (sekitar 117 ribu ton; cukup untuk menyalakan PLTT 1GWe sekitar 117 buah untuk 1000 tahun) (di dunia, Th 3-4 kali lebih melimpah dibanding U) dan murah, karena monasit (potensi di Babel sekitar 1,5 miliar ton yang mengandung Th sekitar 0,26-14,9%) sebagian (> 6 ton) sudah ada di permukaan tanah sebagai produk samping / slag tambang timah di Babel. PT Timah dan BATAN telah melakukan kerjasama untuk memanfaatkan monasit tersebut. Indonesia tidak perlu lagi berhubungan dengan kartel U yang dapat memainkan harga U sesuka hati. Lagi pula, limbah monasit membawa pula produk samping yang berupa logam tanah jarang (LTJ) (di antaranya adalah Y, La, Ce, Pr, Nd, Gd, Sc, Sm, Eu, Dy, dll) yang harganya cukup mahal. Pemerintah telah membentuk konsorsium untuk memanfaatkan LTJ ini. Nd adalah bahan magnet permanen terkuat di dunia yang tersedia di Babel.

BATAN berencana membangun PLTN (jenis HTGR) mini non komersial (RDE 30 MW, reaktor nuklir generasi IV) di Serpong yang ditargetkan akan beroperasi tahun 2019 dan kemungkinan menggunakan BB Thorium (selain uranium).

PLTT 

Pulau nuklir ThorCorn
Di sisi lain, PT INUKI bekerjasama dengan ThorCon Power (konsep dari Martingale Inc.) guna mengembangkan MSRE (Molten Salt Reactor Experiment) skala pilot (posisi reaktor 30 m di bawah muka tanah; beratnya 150-500ton; perlu 200 blok untuk daya 1 GWe) yang akan menghasilkan listrik sekitar 3-5 sen US$/kWh, dan pembangunannya hanya perlu satu tahun untuk membangun reaktor thorium 1GWe, sedangkan PLTN uranium dengan daya yang sama perlu waktu 8-10 tahun.
Pertamina, PLN, ThorCon, & INUKI
Kerjasama itu ditingkatkan dengan penekenan MoU (27 Oktober 2015, saat Presiden Jokowi berkunjung ke AS) di Washington DC antara ThorCon dengan tiga BUMN Indonesia (PT INUKI, PT PLN, PT Pertamina, yang membentuk Konsorsium Thorium Indonesia). Tujuan Konsorsium adalah untuk mengembangkan dan memanfaatkan reaktor garam cair thorium komersial berdasarkan desain ThorCon. PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium) tersebut dijadwalkan akan dikomisioning th 2021. BIla hal itu terjadi, Indonesia akan menjadi operator pertama PLTT jenis MSR.

Desain PLTT 2 x 2 x 250 MW
ThorCon Power mengembangkan reaktor buatan ORNL yang telah teruji / proven (desain 1960, tidak ada yang baru) yang diatur menyerupai bentuk kapal, sehingga dengan mudah disusun secara modular dan dirakit dengan cepat dan dapat segera dikirim ke pelanggan. Desain PLTT di darat dan tongkang dapat dilihat dalam gambar samping. Desain BB reaktornya berupa campuran natrium, berilium, uranium, dan thorium fluorida yang disebut Nabe. Reaktor PLTT beroperasi pada tekanan kamar, diganti setiap 4 tahun sekali. Saat ini pengujian 250MWe selama 4 tahun sedang berlangsung.
Delegasi KEIN (Komite Energi dan Industri Nasional) yang berkunjung ke AS (Wakil Menteri Energi) menjelaskan bhw Indonesia sedang mempertimbangkan memasukkan Nuklir dalam bauran energi sebelum 2025 (salah satunya via PLTT Thorcon).

Desain PLLT lainnya adalan dari perusahaan Moltex Energy, Inggris / UK yang mengenalkan SSR (Stable Salt Reactor). BB Thorium Fluorida berbentuk garam cair molten thorium [2/3 bagian, 1/3 bagian berupa LEU atau Pu (60%Pu-239 + 40%Pu-240)] dalam kelongsong, mirip PLTN yang sudah ada. Garam cair molten memiliki perpindahan panas sangat bagus, stabil secara kimia, efisiensi tinggi, dan bertekanan atmosferik (pendingin: ZrF4/NaF/KF, titik lebur ~385 oC). Bila suhu menaik, reaktivitas  menurun, tetapi bila suhu menurun, reaktivitas malah menaik. Reaktor (spt gambar) berada dalam tangki besar. Setiap berkas BB dapat dipindahkan dari atas dengan mesin pindah.
PLTT SSR 300MW
Dalam kondisi kecelakaan (panas lebih), Passive air cooling system akan berjalan otomatis, tanpa bantuan mesin apapun.
Konduktivitas garam cair 10x lebih rendah daripada UO2, maka sirkulasi garam cair dari teras reaktor ke pembangkit uap diperlukan. Tabung BB mirip dengan BB pin padat (reaktor konvensional), yang terbuat dari paduan logam yang sama. Daya yang ditawarkan sekitar 300 MW dengan harga <2$/W, atau sekitar Rp.8 triliun. Bila ingin daya di atas 1GW, maka 3 unit disusun secara modular. Motto SSR: milikilah PLTN thorium yang Lebih murah, lebih sederhana, dan lebih aman.

Thorium Power Canada (TPC, mengadopsi teknologi ThO2 padat milik DBI, $2juta/MW, dapat dibangun dalam waktu 2-3 tahun, modular) pernah berkeinginan untuk membangun Reaktor Th berkapasitas 25 MW di Indonesia. Proyek tersebut berencana akan memasok tenaga listrik ke PLN. TPC (yang membeli paten DBI Century Fuels, Inc., California, AS) akan menjual listrik berkisar antara 4-7 cent/kWh dengan daya 25 MW (Indonesia) dan dapat dibuat seri hingga (25 x 40) 1000MW. 


Bila Indonesia memilih untuk memiliki PLTN berbasis Thorium (PLTT), misalnya dengan BB jenis garam cair Thorium seperti ISMR, ThorCon, SSR, dan desain China, sudah saatnya para staf/operator di reaktor riset/PLTN BATAN (PTBN) terlibat pula dalam penelitian bersama-sama (termasuk diklat) dengan bangsa lain untuk menguasai teknologi BB Thorium. Mereka juga sedang berlomba-lomba mencari angka-angka yang diperlukan dalam pengoperasian reaktor mini/riset thorium dan PLTT.

Lihat pula: PLTN (Fissi) masa depan ...


Ditulis oleh: Fathurrachman Fagi; WA 0812-1088-1386; ffagi@yahoo.com
________________________________________________
Bila anda meng-copy & paste tulisan ini di blog anda
mohon dengan ikhlas  menyebutkan link sumbernya
http://energibarudanterbarukan.blogspot.co.id/2011/03/pltn-fissi-thorium-paling-aman.html





11 komentar:

  1. keren nih, moga aja Indonesia Ga ketinggalan jauh..

    BalasHapus
  2. Menarik artikelnya. http://mahasiswabicara.com/

    BalasHapus
  3. kami suka energi baruterbarukan,,,mhn diberikan prinsip kerja mesin menggunakan bb jenis garam cair thorium..

    BalasHapus
  4. Prinsip kerja secara ringkas sudah dijelaskan dalam alenia 2, 3, 4, dan Gambar pertama. Detilnya dapat dilihat dalam situs berikut: http://www.the-weinberg-foundation.org/wp-content/uploads/2013/06/Thorium-Fuelled-Molten-Salt-Reactors-Weinberg-Foundation.pdf#page=2&zoom=auto,-21,829

    BalasHapus
    Balasan
    1. tolong untuk dijabarkan keurangan dan tantangan memakai siklus bahan bakar thorium pak misalnya limbah dengan radiotoxic yang tinggi seperti U-232 terus proses reprocessing dan back end yang lebih rumit dari siklus uranium. terus cooling time yang relative lama dari protactinium-233 untuk jadi u-233

      Hapus
  5. Penjabaran dapat dilihat dalam informasi terbuka seperti:
    https://en.wikipedia.org/wiki/Thorium_fuel_cycle; http://www-pub.iaea.org/mtcd/publications/pdf/te_1450_web.pdf
    https://indico.cern.ch/event/222140/session/7/contribution/27/attachments/363090/505441/Daniel_Mathers_v2_ThEC13.pdf
    http://capitalenergy.biz/?p=20552

    BalasHapus
  6. dari tulisan bapak diatas menyebutkan bahwa untuk "menyalakan" thorium sehingga terjadi reaksi nuklir dibutuhkan akselarator PU penghasil neutron sebagai pemicunya,bukankah PU disini adalah plutonium..?yang sulit diproduksi dan mahal serta tidak sembarang negara bisa memproduksi PU ini krn bisa untuk membuat sebuah bom, maaf pak sy memang tidak mengerti nuklir sama sekali jadi terima kasih jika bapak mau menerangkan pertanyaan saya hanya untuk menambah wawasan saja.satu lagi jika BB thorium lebih banyak kelebihannya berarti ada juga ya kekurangannya apa sih kelemahannya..? dan mengapa negara negara peminat energi BB thorium harus memerlukan waktu puluhan tahun untuk membuat suatu reaktor thorium menjadi reaktor yang proven yang katanya lebih sederhana dan lebih murah.demikian pak terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pu digunakan sebagai pemicu reaksi netron digunakan sebagai campuran Th-Pu oleh negara maju yang memang sudah memilikinya (misalnya Jepang, dan negara pemegang hak Veto). Bagi negara yang tidak memiliki Pu, mereka akan menggunakan akselerator penghasil netron.
      Kelemahan Th (di zaman perang dingin) tidak dapat dijadikan bom nuklir, karena gangguan isotop U-232 yang memancarkan sinar gamma kuat 2,6MeV, sehingga dinding pengungkung proses pemisahan U-233 akan lebih tebal. Reaktor Th dulu dibuat berbarengan dengan reaktor U dan Th terbukti berjalan dengan baik. Namun, karena kepentingan membuat bom nuklir, maka pengembangan reaktor Th dihentikan sejenak. Di masa damai ini, mulai beberapa negara melirik reaktor Th lagi, akibat adanya banyak kecelakaan pada reaktor U.

      Hapus
  7. Setuju pak, saya sebenarnya baru di industri nuklir, tapi sekilas pengamatan saya antara Th dan U dampaknya jauh lebih beresiko U. Saya bekerja pada salah satu pltn yg sedang di bangun di eropa dengan technology EPR.

    BalasHapus
  8. Prinsip untuk kemaslahatan hidup manusia dan peningkatan kualitas kehidupan manusia, saya secara pribadi mendukung walaupun dengan analisa yang awam. Saran yang dapat saya ajukan, tetaplah waspada dengan pendampingan khusus pengendalian serta pengawasan guna pemanfaatannya pada badan Litbang tentang hal dan perihalperihal tersebut. Terima kasih.

    BalasHapus