Pages

Jumat, 03 Mei 2019

PLTS: Pembangkit Listrik ET Termurah di Dunia

Biaya PLTS saat ini dapat lebih murah (biaya di AS terlihat dalam gambar samping, dari semula lebih dari 35 sen$/kWh lalu turun ke 5,5sen$/kWh), Hal itu terjadi akibat melemahnya permintaan PLTS & PLTB dunia, tingginya kompetisi antar IPP dan para pemain/produsen PLTS kecil. Bangkrutnya pengembang besar ET kelas dunia, SunEdison, mendorong pengusaha PLTS untuk mempercepat laju pengembalian modal pembangunan PLTS yang berisiko tinggi. Biaya PLTB di AS juga menurun drastis seperti tampak dalam gambar bawah (dari 14 ke 4,7senUSD/kWh).

Biaya PLTS saat ini menurun drastis bahkan lebih rendah dari PLTBayu di Tiongkok dan India. Listrik yang diproduksi oleh PLTS di Chile sekitar USD29,10/MWh (0,0291USD/kWh atau sekitar 2,91senUSD /kWh) setengah dari listrik yang diproduksi oleh PLT Batubara. Chile menerima penawaran pengembang Spanyol Solarpark Corp. Technologica untuk 120 MW dengan biaya 2,91senUSD/kWh yang lebih rendah dari penawaran Dubai 2,99senUSD/kWh untuk PLTS 800MW. 

Lelang tender listrik pemerintah di India digelar oleh Phelan Energy dan Avaada Power dengan penawaran 2,62 Rupee (setara Rp.543 saja) per kWh dengan kapasitas 250MW di Negara Bagian Rajasthan. Sebelumnya, perusahaan Perancis berani tawar 3,15 Rupee per kWh. Daya sekitar 500MW akan ditender di India yang diharapkan harga per kWh akan lebih rendah lagi. India menargetkan ET dari surya, panas bumi, angin sekitar 175GW tahun 2022 atau sekitar 24% ET.

Rendahnya ongkos/biaya PLTS dan PLTB tidak hanya lebih rendah daripada PLTG alam, tetapi juga lebih rendah daripada PLTU BBM pada ongkos marginalnya (misalnya ongkos operasi, perawatan, bahan bakar, dll).
Perbandingan PLTN dan PLTU Batubara dengan  PLTS dan PLTB dapat dilihat dalam gambar samping.

PLTS Chile yang terkoneksi ke jala-jala (grid) meningkat pesat sejak tahun 2013. PLTS yang terpasang melebihi 1000MW (Agustus 2016), yang memasuki tahap konstruksi 2000MW, dan yang sudah disetujui pembangunannya oleh RCA Chile 11GW. PLTS Chile yang dipasang di gurun pasir Atacama itu mendapatkan radiasi surya tertinggi di dunia (menurut data Inter-American Development Bank). Murahnya harga PLTS dan PLTB ini menggembirakan negara berkembang lainnya yang ingin mengembangkan infrastruktur energi via PLTS & PLTB.

ADWEC (Abu Dhabi Water & Electricity Co.), pelaksana bisnis ADWEA, meneken PPA 25 tahun dengan perusahaan Jepang Marubeni dan Firma Tiongkok Jinko Solar untuk membangun PLTS 1,17GW di Sweihan, sekitar 100km Selatan-Timur ibukota Abu Dhabi. PLTS baru ini di-BOT oleh perusahaan konsorsium dari Marubeni (20%), Jinko (20%) dan ADWEA (60%) (Maret 2017). Sebelumnya, enam penawaran telah masuk untuk 350 MW termasuk fasilitas dan infrastrukturnya, tetapi Marubeni dan Jinko memberikan penawaran terendah 2,42senUSD/kWh untuk daya 1,17MW. Namun, nanti setelah PLTS itu dioperasikan (April 2019), biaya itu sebenarnya akan 1,6 kalinya (3,872senUSD/kWh). 

Konsorsium Masdar UEA 60%, Total Perancis 20%, dan Abengoa Spanyol 20% mendapat 3 kontrak membangun PLTS 100MW jenis CSP (Concentrated Solar Power, reflektor modul surya sebanyak 9.216), Sham-1, dekat Madinat Zayed, Abu Dhabi, yang terbesar di Timur Tengah mencakup area 2,5 km2. Kontrak itu termasuk pembangunan gedung, fasilitas, dan penghambat angin. Proyek itu menelan biaya 600jutaUSD dan menghasilkan listrik untuk 20.000 rumah. Selanjutnya, Sham-2 dan Sham-3 juga dibangun.

PLTS dengan ongkos per kWh sebesar 2,42sen itu adalah ongkos normal yang baru untuk industri sel surya, yang lebih rendah 17% daripada ongkos di Chile (2,91senUSD) dan 19% lebih murah daripada ongkos di Kompleks PLTS Mohammed bin Rashid Al Maktoum 800MW di Dubai (tahap 3). 

Biaya yang rendah itu mendorong negara lain seperti Saudi Arabia, Jordan, dan Meksik membuka tender PLTS dalam waktu dekat. Tender Saudi Arabia pada tahun 2017 berupa PLTS 300MW di Al-Jouf, Utara Saudi dan PLTB 400MW dekat Tabuk. 

ACWA Power dan perusahaan Spanyol TSK menawar 5,98senUSD/kWh selama 25 tahun kontrak tanpa subsidi Pemerintah untuk PLTS photovoltaic 200MWac (260MWp) fase II di Dubai yang dibangun dengan biaya < USD167,4juta (jumlah sel surya diturunkan), dengan laba 6% dari investasi. Caranya adalah sebuah rangkaian elektronik tertentu dipasang pada panel surya (oleh SunPower) sehingga jumlah sel surya dapat dikurangi dengan produksi listrik yang sama (bila tanpa rangkaian elektronik, mustinya USD320juta). Faktor kapasitas (waktu persentase sistem yang akan memproduksi sesuai kapasitasnya) antara 20-25%. Artinya, 100MW dengan faktor kapasitas 25% akan menghasilkan 219juta kWh per tahun (=100.000kW x 365 hari x 24 jam x 0,25). Kemungkinan revenue-nya (tidak termasuk degradasi sistem) antara USD261,9juta dan USD327,4juta selama kontrak 25 tahun (= USD 219000000 x 0,0598 x 25).

Sebenarnya, biaya energi surya itu masih dapat diturunkan lagi tergantung kepada faktor-faktor seperti jenis lahan, harga panel PVC, dan ongkos pembiayaan. Ongkos panel surya menyumbang sekitar 25-40% ongkos proyek total, yang sekarang ongkos itu turun drastis mendekati 80% sejak tahun 2009.

Di AS, seperti perusahaan Lone Star State, Austin, Texas, memasang biaya di bawah 4senUSD/kWh (dengan subsidi pemerintah) yang menjadi penawaran PLTS termurah di AS. Sementara, Dubai memenangkan tender PLTS di AS  untuk biaya 5,84 senUSD per kWh (tanpa subsidi).


Sejak tahun 2014, ongkos listrik dari PLTS Di AS sekitar 3-6 senUSD per kWh dengan adanya insentif dari pemerintah setempat. Pengembang bernegosiasi dengan ongkos sekitar 5senUSD termasuk pajak kredit investasi (30%) yang dijadwalkan menurun 10% pada tahun 2016.


PLTS murah di Indonesia, bisakah?
Biaya pokok produksi (BPP) listrik di Indonesia saat ini masih sekitar Rp.1.300/kWh. Biaya PLTS murah di UEA (2,99senUSD/kWh atau Rp.390/kWh) itu lebih rendah dari listrik PLTU Batubara (Rp.800/kWh), dan Indonesia harus menerima kenyataan bahwa tarif listrik PLTS-nya masih 15senUSD/kWh (Rp.2.000/kWh). Menteri ESDM berkilah bahwa PLTS Indonesia tidak mungkin serendah PLTS UEA yang lahannya digratiskan, fasilitas pajak (PPh pengembang ET) dibebaskan, dan bunga kredit di UEA hanya 3%. Di sisi lain, kebijakan makro, aturan fiskal, dan aturan moneter Indonesia berbeda dengan UEA. Akan tetapi, biaya PLTS di Indonesia dapat ditekan hingga 6-7senUSD/kWh (Rp.780-910/kWh), yang diletakkan di bendungan atau danau, sehingga sangat memungkinkan bila pengusaha UEA, Masdar, ingin mengembangkan PLTS di Indonesia dengan tarif itu. FS telah selesai dilakukan dan PPA sedang dijajagi. Di samping Masdar, perusahaan Perancis Akuo juga tertarik berinvestasi di Floating Solar Power Plant di Indonesia.

Contoh PLTS Apung di Kato, Jepang
Oleh karena itu, anak perusahaan PLN (PT PJB, Pembangkitan Jawa Bali) bermitra dengan Masdar (UEA) guna membangun PLTS Apung di Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat. Pekerjaan FS telah dilakukan guna menetapkan tarif, kapasitas, biaya investasi, biaya produksi listrik, dan teknologi yang cocok untuk Indonesia. PLTS apung di waduk guna mempercepat pembangunannya tanpa pembebasan lahan, agar Capex (belanja modal) untuk lahan menjadi gratis, mirip pembangunan PLTS di UEA. Listrik yang diperoleh dijual ke PLN mengikuti Permen ESDM No.43 tahun 2017, yaitu 100% Biaya Pokok penyediaan (BPP) listrik setempat. Kontrak jual beli listrik (PPA) PLTS ke PLN dilakukan Jan 2018.

Di sisi lain, Kementerian ESDM mendorong pemanfaatan PLTS atap dengan dikeluarkannya Permen ESDM NO. 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap Oleh Konsumen PT PLN (Persero) (sektor Rumah Tangga, bisnis, Pemerintah, Sosial / Industri). Sayangnya, kelebihan daya listrik yang akan diekspor ke PLN oleh konsumen dikalikan faktor 65% (berlaku sejak 01/01/ 2019, sebagai biaya kompensasi). Konsumen meminta faktor itu mendekati 100%. Komitmen ESDM mendorong pembangunan PLTS 6,5 GW hingga 2025 termaktub dalam Paris Agreement.

Tidak dapat disangkal lagi, transisi dari PLTU Batubara ke PLTS dan PLTB tidak hanya dilihat dari sisi lingkungan tetapi juga dari faktor ekonomi. Hingga tahun 2022, PLTS dapat tumbuh mencapai 400% dengan harga murah. Paradigma baru telah lahir, PLTS dan PLTB akan menjadi tulang punggung (backbone) penyediaan tenaga listrik jala-jala (Grid) di masa depan. Akibatnya, batubara, BBM, gas alam yang selama ini sebagai backbone akan ditinggalkan dalam waktu dekat. Perang energi antara minyak murah dengan PLTS telah dimulai. Tidak heran, bila Saudi ARAMCO segera mengeskpor minyaknya (termasuk ke Indonesia + bantu bangun kilang di Cilacap), sekaligus menggganti pembangkit listrik BBM dengan membangun PLTS di Saudi.

Itu berarti umat manusia kemungkinan secara perlahan akan meninggalkan nuklir (PLTN) kemudian beralih ke PLTS yang efisien, murah, dan tersedia melimpah secara alamiah.


Disusun oleh: Fathurrachman Fagi; WA 0812-1088-1386; ffagi@yahoo.com