Pages

Senin, 11 Oktober 2021

PLTA MASA DEPAN: Tanpa Dam/Bendungan & ROR (Run-Of- River)

PLTA tradisional menggunakan Dam / bendungan (tando / waduk) adalah salah satu ET (Energi Terbarukan) yang telah banyak menyumbang energi selama ini. Akan tetapi dalam pembangunannya, telah diketahui merusak kehidupan hayati (flora dan fauna di sekitar sungai) sekaligus memutus mata rantai perkembang-biakannya, sehingga dapat dikategorikan merusak ekosistem secara keseluruhan. Hal itu terjadi akibat genangan air yang meluas untuk mendapatkan volum air yang besar. Beberapa negara mulai menghindari pembangunan PLTA menggunakan dam / bendungan karena adanya beberapa kelemahan PLTA jenis dam/bendungan, misalnya:
  1. Berskala besar, sehingga skala kerusakan lingkungan juga besar berupa timbulnya masalah sosial dan ekonomi masyarakat yang terkena dampak genangan air, termasuk evakuasi penduduk di sekitar tepi sungai, sekaligus menghilangkan mata pencaharian mereka, dan menenggelamkan desa-desa mereka.
  2. Kerusakan hutan, lansekap dan tanah, punahnya beberapa ekosistem flora dan fauna
  3. Satwa air banyak yang mati dan beberapa jenis ikan menghilang karena tidak punya kemampuan lagi pergi ke muara (laut) dan kembali ke sungai / danau  untuk berkembang-biak akibat tertahan oleh dam yang besar. Misalnya ikan sugili di danau Poso, ikan sidat, dll.
  4. Naiknya genangan air meluruhkan tumbuh-tumbuhan (pembusukan hutan dan vegetasi) yang pada gilirannya menghasilkan gas metan, sehingga meningkatkan polusi (yang lebih berbahaya dibanding gas CO2) dan berkurangnya kualitas air
  5. Perubahan transportasi sedimen sepanjang alur sungai sehingga perlu melakukan penghilangan lumpur di bagian bawah dam
  6. Terjadi banjir dadakan bila dam itu pecah/bocor akibat bencana alam / ulah manusia / sabotase
  7. Dam menjadi tempat penyebaran penyakit bawaan air seperti malaria, leishmaniasis dan schistosomiasis
  8. Tingginya biaya pembangunan dam.
Oleh karena itu, desain-ulang PLTA saat ini perlu dilakukan untuk menanggulangi kelemahan yang ada, misalnya melakukan sudetan bagi dam yang sudah ada, agar ikan-ikan dapat lewat, atau tanpa dam / bendungan sama sekali. 
Bila PLTA tanpa dam, tinggi jatuh (head) air akan menjadi rendah, sehingga tenaga listrik yang diciptakan hanya bergantung kepada deras arus air yang tersedia.

Usulan teknologi tanpa bendungan adalah memanfaatkan daya tidal dinamik air yang disebut IEGT (Instream Energy Generation Technology) dengan menempatkan turbin dalam sungai atau dalam saluran buatan manusia. Turbin ini memanfaatkan aliran air saja untuk menghasilkan listrik. Turbin yang diusulkan adalah:
  1. Turbin Rotor Aliran Axial
  2. Turbin kipas buka tengah
  3. Turbin Helik
  4. Turbin sikloidik
  5. Bilah hydroplane
  6. Generator Turbin FFP
  7. Instalasi Vorteks air gravitasi
 Salah satu teknik/konsep yang ditawarkan adalah Hydroring dengan ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Partisi aliran air dilengkapi dengan beberapa impeller yang rendah dengan head yang rendah (1-4 meter saja).
  2. Dipasang dalam aliran air menggunakan pipa atau penyangga baki.
  3. Impeller (bagian berputar) disangga oleh dua cincin magnet yang saling tolak. Akibatnya, tidak ada friksi dan aus dapat dicegah, sehingga impeller lebih awet dan mengurangi ongkos perawatan.
  4. Lebih ramah lingkungan, dan cincin impeller dapat diterobos oleh ikan-ikan yang bergerak ke hulu/hilir, dan tidak menimbulkan polusi, 
  5. Peralatan dapat dikoneksi secara paralel atau seri, yang diatur sesuai dengan kondisi lokal yang ada, dan berkoordinasi dengan nelayan setempat, Badan Lokal & Internasional.
  6. Head: 3,25m; diameter lolos: 0,99m; jumlah: 4,38m3/detik; Daya maksimum: 45 kW/unit; laju: 160 rpm; massa total (baja nirkarat) generator: 1750 kg; umur ekonomis: 20 tahun. Untuk mendapatkan daya sebesar 1 MW, maka diperlukan generator sekitar 23 unit.
 Ada konsep lainnya untuk daya rendah, antara lain:  Stream, Hydrocat (PLTA Apung, 1-300kW), CARE, Roda air, dll. Bahkan, Joe Holden menciptakan purwarupa PLTA tanpa dam yang dapat digabung dengan udara tekan (turbin udara) atau uap (turbin uap) dalam satu unit, sehingga dapat meningkatkan daya listriknya.

Salah satu perbaikan terbaru teknologi brobos ikan adalah terobosan dari hasil riset Alden Research Laboratory yang telah diuji di laboratorium hidrolik di York, Pennsylvania (AS). Fitur turbin Alden berupa laju rotasinya lambat, dan hanya memiliki 3 bilah guna mengurangi kematian ikan akibat benturan bilah. Bentuk bilah didesain sedemikian rupa, agar ikan dapat menerobos dengan meminimumkan gesekan, laju ubah tekanan dan tekanan minimum dalam lintasan air. Laju hidup ikan ukuran normal diharapkan 98-100% yang tergantung spesies ikan.
 
Jenis PLTA lainnya adalah jenis ROR (Run-of-River, diversi, terusan air sungai, sebagian air sungai sedikit dibendung dengan tinggi hanya sekitar 2 m) yang hanya mengandalkan kepada aliran air dan head yang rendah untuk menghasilkan listrik. Sebagian air dilewatkan pipa bawah tanah guna menggerakkan generator, kemudian air kembali ke sungai asal, sehingga debit sungai tetap konstan, tidak merusak lingkungan, relatif murah, dan tidak mengevakuasi penduduk di sekitar sungai. Beberapa PLTA jenis ini dimiliki Indonesia. Contoh: PLTA Masang II (44MW, Sumbar, terima grant dr AFD Perancis 2021, target COD 2027), PLTA Renun di Sumatera Utara (2 x 41 MW); PLTA Tumbuan (450 MW), Mamuju, Sulbar; PLTA Rajamandala (47 MW), Jabar; PLTA Poso-1 (60 MW), Poso-2 (195 MW), Poso-3 (240 MW), Sulteng, dan PLTA Baliem, Kab. Jayawijaya.
Akan tetapi, pada PLTA Musi (3x70 MW) (Ujan Mas, Kab.Kepahiang, Bengkulu), telah terjadi kesalahan desain aliran air bekas PLTA yaitu, sebagian air yang diambil dari sungai Musi dan masuk ke PLTA, ternyata tidak kembali ke sungai asal, tetapi ia dialirkan ke sungai Simpang Aur yang langsung menuju laut di Bengkulu (yang dalam perjalanannya kadangkala menggenangi persawahan sekaligus merusak DAS). Akibatnya, debit air sungai Musi menurun dan selanjutnya menimbulkan masalah sosial pula di hilir / Sumsel (sungai menjadi dangkal, air laut merembes ke sungai dan air sungai menjadi asin).

Oleh karena itu, pemanfaatan PLTA di masa depan perlu menggunakan teknologi baru tanpa dam atau penggunaan PLTA jenis ROR yang telah diterapkan di Indonesia. Mereka harus dirancang secara hati-hati guna menyelamatkan lingkungan dan masyarakat di sekitar DAS, dan masih dapat memanfaatkan lingkungan PLTA sebagai tempat wisata dan budidaya ikan.


Ditulis oleh: Fathurrachman Fagi; WA 0812-1088-1386; ffagi@yahoo.com

Senin, 04 Oktober 2021

Kondisi EBT di Jepang Pasca Fukushima



Konsumsi Energi Total Jepang (2015)
Setelah kejadian Fukushima, opini nasional berubah, dari pro nuklir ke pro EBT, PLTN baru harus tidak dibangun, PLTN yang ada dipaksa berhenti sementara sambil menunggu lulus uji stress yang benar, energi fosil tambahan terpaksa diimpor yang sebenarnya tidak baik bagi ekonomi dan pekerja di Jepang, EBT dipromosikan cepat, dan hukum FIT (Fedd-in-Tariff) diberlakukan. Oleh karena itu, gas alam menjadi sasaran sumber energi no.1 di Jepang, karena murah dan cepat.
Pada tahun 2015, Cadangan BBM Jepang amat terbatas, sehingga Jepang harus mengimpor 92% pasok energi total berasal dari BBM (batubara 27%, minyak 42%, dan gas alam 23%), sedangkan EBT 8%, berupa PLTA 5%, nuklir >1%, dan lainnya 3%.
Kejadian Fukushima mendorong Jepang mengadopsi teknologi ET secepat kilat, setelah merehatkan 48 PLTN di seluruh negeri dengan alasan perawatan rutin dan meredakan kegelisahan penduduk yang tidak suka nuklir (80%). Sebelumnya, kebutuhan bahan bakar fosil sekitar 83%, saat ini meningkat menjadi ~ 93%. Impor LNG Jepang naik dari 6,6% menjadi 14,9%, dan Indonesia menyumbang LNG sekitar 30%-nya. Bulan April 2012 saja, Jepang membakar 4,56 juta ton LNG, 33% lebih tinggi dibanding tahun lalu guna mengganti energi dari PLTN yang padam. Jepang mengimpor LNG dari Indonesia 12 Juta ton/tahun, sisanya diimpor dari Australia, UEA, Qatar, AS, dll. Selanjutnya, 5 perusahaan Jepang (Chubu Electric, Kansai EP, Kyushu EP, Nippon Steel, dan Osaka Gas) menandatangani kontrak pasokan Gas Alam Bontang (yang memproduksi 22juta ton/th) selama 20 tahun.
Saat ini ET Jepang menyumbang 10% kebutuhan listriknya. Meski Jepang cukup memiliki sumber daya geothermal, air, angin dan surya, tetapi hal itu belum cukup mengatasi kebutuhan listrik negara itu dalam waktu dekat. Akan tetapi, mereka yakin dengan semboyan "it is a big challenge and also a big opportunity". Oleh karena itu, Jepang menggenjot EBT-nya hingga 20% tahun 2020. Pemerintah mengglontor lebih dari US$7miliar hanya untuk ET dan energi konservasi. Investasi swasta diberi subsidi bila bergerak di bidang energi hijau. Salah satu raksasa telekomunikasi langsung merespons dengan membangun PLTS 14 MW. Di daerah bencana, Jepang langsung membangun 4 PLT biomassa untuk menghabiskan 5 juta ton limbah kayu yang berserakan akibat tsunami, kendati hal itu akan memakan waktu sekitar 2 tahun. Feed-in-Tarrif (FIT, siapa saja yang memasukkan listrik ke jaringan listrik nasional) untuk EBT dikenalkan, yaitu sekitar 20 yen (US$0,25)/kWh untuk PLTB, 30-35 yen/kWh untuk PLTA kecil, sedangkan untuk PLTS sekitar 40-42 yen (US$0,50-0,52)/kWh.
Sejak tahun 2012, Jepang telah menyetujui proyek EBT sekitar 85.550MW, yang terdiri atas: PLTS 79.760MW, PLTBm 2.680MW, PLTB/angin 2.330MW, PLTM 710MW, dan PLTP/geotermal 70MW.
PLTB (ANGIN)

Potensi di lepas pantai: 1600 GW, di darat: 280 GW (terpasang 2,6GW, April 2015). Target dibangun: 167 MW/tahun. Sasaran PLTB: 10% dari kebutuhan listrik Jepang pada tahun 2050, yaitu 11,1 GW (2020), dan 50 GW (2050) terdiri atas darat 25 GW + lepas pantai 7,5 GW + tongkang 17,5 GW. Perusahaan lokal terlibat: JSW (Japan Steel Works), FHI (Fuji Heavy Industries), MHI (Mitsubishi Heavy Industries).
PLTB yang sudah ada: Setana (Hokkaido, 2003) Vestas 0,6 MWx2; Sakata (Yamagata, 2004) Vestas 2 MWx5;dll. Meskipun PLTB 2,5 GW (1.832 unit, Hokkaido, Tohoku Utara, dan Okinawa) telah dibangun, beberapa di antaranya mengalami kerusakan sesudah kejadian Fukushima. Jepang bangkit dengan terus membangun PLTB, salah satunya adalah PLTB Shin Izumo 78 MW terdiri atas 26 turbin buatan Eurus Energy pengembang PLTB terbesar di Jepang. Sejak September 2011, Jepang menguji-coba satu tongkang PLTB berupa 6 turbin berkapasitas masing-masing 2 MW di pantai Fukushima sebagai pengganti PLTN Fukushima yang rusak. Jepang berencana membangun 80 tongkang PLTB lagi hingga 2020 di sana. Tahun 2014, PLTB baru menyumbang sekitar 22%, dan diharapkan menyumbang listrik 100% pada tahun 2040.

PLTB selesai dibangun: 
Di daratPLTB Kinimiyama (Eurus Energy Japan) 30 MW (JSW J82 2MWx15 unit), di gunung, Selatan Jepang; PLTB Omaezaki (Chubu Electric Co.) 22 MW (FHI SUBARU80 2MWx11 unit), di pesisir pantai, di Tengah Jepang; PLTB Fukura (Nihonkai Hatsuden Co.) 21,6 MW (MWT92/2.4 atau 2,4 MWx9 unit), pesisir pantai laut Jepang, di tengah Jepang.
Di Lepas Pantai: Pulau Goto, FHI 2MW (Tongkang) operasi 2013; Hibikinada, JSW 2 MW, operasi 2012; Fukushima > 15MW (tongkang), operasi ~2013; Kamisu FHI 2 MWx7 unit, operasi 2010; Choshi, MHI 2,4 MW, operasi 2012.
PLTB Kamisu 2 MW yang terserang tsunami adalah buatan SUBARU80/2.0, yang berlokasi ~ 300km dari epicenter gempa, level goncangan 5+ dengan tinggi tsunami ~ 5 m. Turbin yang terkena sudah diperbaiki, dan beroperasi kembali 14 Maret 2012. Hampir sebagian besar PLTB yang sudah ada di Jepang selamat dari serangan gempa & tsunami, hanya 1 dari 10 turbin Gamesa G80 2MWx10 rusak (karena liquefaction) di PLTB Kashima, sedangkan 9 lainnya dalam kondisi normal.
Potensi PLTB yang belum tergali (dengan laju angin > 7m/detik) berada di Hokkaido, Tohoku, Kyusyu (Kabashima), tetapi daerah itu adalah daerah pedesaan dengan jaringan listrik berkapasitas rendah, sehingga kebutuhan listriknya rendah pula. Tokyo juga dilirik untuk dipasang PLTB.
Kyushu Univ segera berbenah. Desain baru dibuat yang bernama "Windlens", sudu dilengkapi dengan lekukan cicin di sekelilingnya agar sudu berputar lebih kuat 2-3 kali dari model tradisionalnya sekaligus mengurangi suara deraunya. PLTB baru ini diharapkan lebih murah dibanding PLT batubara atau nuklir. Dua turbin berkapasitas 70-100kW (diameter sudu 12,8 m) dipasang di Kampus, sedangkan desain yang lebih kecil 3-5 kW (diameter 2,5 m) yang lebih cocok untuk industri dipasang di beberapa lokasi termasuk di Prop Ganzu, China, dan di pesisir Fukuoka, Jepang.

Tongkang PLTB Fukushima Shinpuu lepas pantai terbesar di dunia (kapasitas 7MW, 3,5kali dari kapasitas Fukushima Mirai 2MW) sedang diuji-coba oleh 10 konsorsium perusahaan di bawah pimpinan Marubeni Corp. Tinggi dari pusat rotor ke muka laut 105m. Turbin anginnya setinggi 188,5m. Sebelumnya konsorsium ini juga telah membangun PLTB dengan daya 2MW/turbin yang beroperasi sejak Nov 2013. Perlawanan dari nelayan Jepang terhadap PLTB lepas pantai masih ada.


PLTS (SURYA)

Potensi: 81 GW. Saat ini PLTS meningkat, dari 1GW (2010) menjadi 7GW (2013). Jepang kuat di PLTS setelah beberapa dekade memproduksi 50% (2005) kebutuhan PLTS dunia. Meski Jepang tidak mempunyai daerah luas yang tersedia untuk membangun fasilitas PLTS dan PLTB besar-besaran, dorongan membangun PLTS di atap-atap rumah, dam, pantai, dan fasilitas lainnya terus digencarkan, dan di atap bangunan baru wajib dipasang PLTS hingga tahun 2030. Oleh karena itu, Jepang mulai melirik kawasan lepas pantai untuk membangun PLTS apung.
Kyocera dan Century Tokyo Leasing Corp. membangun 2 PLTS awal dari rencana 30 PLTS apung kelak (total 30x2 MW), dengan kapasitas 1.7 MW dan 1,2 MW di prefektur Hyogo, Jepang bagian Barat. Keuntungan PLTA apung adalah, suhunya lebih rendah sehingga level efisiensi dan keluaran lebih tinggi.  
PLTA apung  13,4MW di atas tandon dam Yamakura buatan Kyocera TCL Solar (joint venture Kyocera Corp & Century Tokyo Leasing) di prefektur Chiba memproduksi listrik untuk 4700 KK. Ia beroperasi th 2016 dan listriknya dijual oleh TEPCO. Ada 50.000 modul surya buatan Kyocera di atas muka air 180.000m2. Ia menggunakan teknologi dukung (platform) surya apung Hydrelio yang dikembangkan oleh Ciel et Terre yang cocok untuk danau, tandon, kanal, dan waduk.
Sistem PLTS apung  dibangun di atas danau, dengan struktur pipa dan keranjang yang diperkuat, di perfektur Nara, Jepang dengan fitur berikut: Tekanan angin berdasarkan uji saluran angin; Polietilen HDPE PE100 densitas tinggi; pengaturan derajad kemiringan panel; struktur pipa dan kurungan dengan sistem apung stabil.
Kyocera bekerjasama dengan industri berat IHI dan Mizuho Corporate Bank membangun PLTS apung 70 MW terbesar di Jepang di prefektur Kagoshima, lepas pantai Jepang bagian Selatan dengan biaya 25 miliar yen setelah Jepang menghentikan seluruh PLTN-nya akibat kejadian Fukushima. Jepang menargetkan 28 GW pada tahun 2020, dan 53 GW pada tahun 2030, 10% kebutuhan energi primer Jepang via PLTS akan diupayakan pada tahun 2050.  
  • Kyocera dan Nichicon Corp. pada Jan 2012 memasang panel-panel surya di seluruh rumah pemukiman sebagai back-up sistem pasok daya yang sudah ada. Kyocera menaikkan produksi PV di Fukushima sehingga menjadi pabrik PV terbesar di Jepang, PLTS 130 kW di kantor pusat Kyocera dibangun, 58 kW di kantor pemasaran di Yokohama, PLTS 13 MW di Timur Jepang juga telah dibangun yang beroperasi Des 2011.
  • Toshiba Co. bekerjasama dengan 7 konsorsium lain termasuk Mitsui Chemical dan Mitsui & Co. membangun dan mengoperasikan PLTS dan PLTB terbesar di Jepang.
  • Proyek Tahara membangun PLTS 50 MW dan PLTB 6 MW di pesisir prefektur Aichi yang konstruksinya dimulai pada bulan Juni 2012.
  • AUO Optronics mengoperasikan pabrik PV di Soma yang produksinya diserahkan ke Sanyo, SunPower dan Isofoton.
  • PLTS Kansai Electric Power's 10 MW berlokasi di Sakai, Osaka, beroperasi bulan Sep 2011 menggunakan panel PV 74.000 buatan Sharp yang cukup menerangi 3.000 rumah.
  • Solar Frontier membangun PLTS 10 MW di prefektur Yamanashi. 
  • SB Energy Co. membangun PLTS 2,8 MW yang akan beroperasi Juli 2012.
 PLTS di Jepang makin murah (8-11,5 yen/kW) bila dibandingkan dengan PLTN (akibat peningkatan biaya keselamatan paska bencana Fukushima, 11,5yen/kW), bahkan sebagai sumber energi termurah pada tahun 2030. PLTB akan menjadi 9,5 yen/kW, sedangkan PLTG masih 10,5 yen/kW. Sementara, PLTU batubara akan menaik hingga 13,5-22,5 yen/kW.

PLTP (PANAS BUMI/GEOTHERMAL)

Potensi PLTP Jepang menempati ranking 4 di bawah Indonesia, sekitar 33,6 GW yang setara dengan 30 PLTN. Sayangnya hampir semua PLTP berada di lokasi National Park, sehingga memerlukan ijin dari Menteri Lingkungan. PLTP terpasang saat ini sebesar 535 MW. Hingga tahun 2011, di daerah Aso Kuyu, kota PLTP di Jepang, ada 18 PLTP dengan kapasitas terpasang 140 MW. Tahun 2020, kemungkinan sekitar 500 MW dapat direalisasikan pembangunannya. Beberapa lokasi potensial lainnya masih memungkinkan untuk dikembangkan. Anti PLTP masih ada, karena PLTP dianggap merusak sumber local hot springs.
Satu PLTP baru (5 MW) dioperasikan April 2014 di Pulau Kyushu, Prefektur Kumamoto.

PLTA (KINETIKA AIR)

Potensi: 26,5 GW. September 2011, Jepang memiliki sekitar 1198 PLTA kecil dengan daya total 3,2GW. Sisanya dipenuhi oleh PLTA berukuran menengah dan besar. Jepang tidak akan membangun Dam besar lagi, karena merusak habitat/lingkungan. Oleh karena itu, PLTA yang akan dibangun kelak adalah ukuran menengah, kecil, dan PLTMH.




 
PLTBm (Biomassa)

Potensi: 1,1 GW. Jepang memiliki 190 generator gas kota dan 70 PLTBm (biomassa). tambahan pula, 14 generator menggunakan batubara dan biomassa. Pada tahun 2008, 322 juta ton bahan bakar biomassa telah diproduksi yang berasal dari limbah pertanian, perhutanan, perikanan, limbah jerami / sekam / jagung / manusia / ternak / kertas / kayu / makanan / industri, dan diubah menjadi energi sekitar 76% (sekitar 5 juta kliter minyak mentah).
  • Sumitomo Corp. membangun PLTBm 50MW (US$208juta) di Sakata Rinkai Industrial Park, perfektur Yamagata, Pulau Honshu (pertengahan 2016 - May 2018). Biomassa diperolah secara lokal dan impor dari LN. PLTBm 75MW lainnya akan dibangun di Handa (Juni 2017).


HIDRAT METAN (es bakar)

Jepang dikelilingi oleh laut dengan zona ekonomi eksklusif sekitar 4,47 juta km2 terbesar ke enam di dunia yang berarti mempunyai cadangan hidrat metan dan gas alam sangat besar. Cadangan hidrat metan Jepang sekitar 100 kali konsunsi gas tahunan Jepang. Pengeboran hidrat metan oleh MH21 (konsorsium pemerintah  akademisi / industri Jepang) 80 km Selatan semenanjung Atsumi prefektur Aichi menarik perhatian publik akan prospeknya yang menarik sebagai energi alternatif pengganti PLTN masa depan. Proyek itu menelan biaya sekitar 10 miliar yen hingga 2013. Jepang berhasil mengeksplorasi deposit gas hidrat metan untuk pertama kalinya pada bulan Maret 2013. Satu m3 hidrat metan melepas gas metan sekitar 160 m3 yang dapat dibakar dan menghasilkan listrik. Sekitar 1,2 triliun m3 hidrat metan yang setara dengan padang gas alam diperkirakan berada di dasar laut sepanjang prefektur Shuzuoka hingga Wakayama yang akan habis sekitar 90 tahun dengan cara penggunaan gas saat ini. Masih ada lagi cadangan di sekitar Jepang lainnya. Perhitungan biaya produksi sementara sekitar 46-174 yen/m3, sedangkan biaya produksi gas alam sekitar 20 yen/m3, yang kemungkinan akan meningkat pesat nanti bulan Maret 2019. Bahaya produksi metan dari hidrat metan adalah kemungkinan terjadinya longsoran tebing bawah laut di lokasi bor sisi miring, dan gas metan berisiko 21 kali gas CO2 dalam menaikkan pemanasan global.

ENERGI GELOMBANG/ARUS/TEMPERATUR LAUT

Energi kinetik dari gelombang laut Jepang yang mencuci bibir pantai sejauh 34ribu km diperkirakan menghasilkan listrik setidaknya 300-400 juta kW (300-400 GW). Estimasi lainnya menunjukkan bahwa jangkauan 30 km dari bibir pantai dan kedalaman 100 m, ada energi potensial menghasilkan listrik setara dengan lebih dari 10 PLTN
Energi gelombang lebih menguntungkan dibandingkan surya dan angin, efisiensi konversi energi lebih tinggi (per unit area), dan tidak pernah berhenti. Akan tetapi, hingga kini belum ada perusahaan komersial membangun PLT tidal atau gelombang, meski tidal yang cukup besar ada di Jepang. PLT gelombang skala eksperimental ditemukan di Yamagata, Mie, Hokkaido, dan di prefektur lainnya. Pemilik PLT arus laut/tidal/gelombang harus bernegosiasi dengan nelayan Jepang yang menguasai bibir pantai, karena cluster turbin dalam laut dapat mengusik ikan di sekitar Jepang.
Ada dua cara tenaga gelombang dapat menghasilkan listrik: 1) menggerakkan generator langsung 2) mengambangkan kotak rongga dalam air laut sehingga gerakan udara yang dihasilkan oleh gerakan vertikal gelombang dalam kotak akan merotasi turbin generator. Pemerintah prefektur Saga mengglontorkan dana 23 juta yen kepada Univ. Saga guna meneliti dua energi kinetik gelombang itu.
Kemungkinan lain adalah tenaga arus laut. Hal itu diuji-coba di selat Kurushima.
Kemungkinan lainnya adalah OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), beda suhu dalam laut hingga kedalaman 1000 m dengan teknik siklus tertutup (medium; ammonia, titik didih -33oC, mendidih / menguap di permukaan pada suhu 20oC lalu menggerakkan turbin generator dan didinginkan di laut dalam, dst hingga merotasi turbin). Pada siklus terbuka, muka laut hangat akan menurunkan tekanan wadah yang pada gilirannya akan mendidihkan air menjadi uap sehingga menggerakkan turbin generator. Uap air itu didinginkan di laut dalam dan menjadi air segar. Cara itu tidak hanya menghasilkan energi tetapi juga mendesalinasi air laut. Univ Saga juga ditugaskan meneliti itu pada awal 2013.
Hal menarik lainnya adalah upaya memanfaatkan beda konsentrasi garam antara air segar dan air laut yang dipisah oleh membran osmotik, air segar mengalir menuju air laut melalui membran. Kyowakiden industry Co. di Nagasaki berkolaborasi dengan Tokyo IT, dan Nagasaki Univ. sukses menghasilkan energi menggunakan cara itu.
Cara lain menghasilkan listrik adalah menggunakan teknik elektrodialisis terbalik, memanfaatkan beda garam bukan energi kinetik, air segar dan air laut dipisahkan selang-seling oleh serial membran. Satu jenis membran membiarkan ion positif, dan lainnya meloloskan ion negatif. Listrik dihasilkan ketika ion natrium dan ion khlorin bergerak beda arah ketika melewati membran. Hal itu dilakukan di Yamaguchi Univ. Problemnya adalah membran yang digunakan masih mahal.  
 
NUKLIR

PWR Jepang menyalakan PLTN Ohi 3 yang kritis tgl 15 Juli 2012. Sementara, PLTN Ohi-4 dinyalakan tgl 18 Juli dan kritis tgl 19 Juli agar memasok listrik tgl 21 Juli dan kedua PLTN itu kembali normal, meski pendemo terus melancarkan protes mereka. Akan tetapi, bulan Sep 2013 dua PLTN itu dipadamkan kembali. UJi keselamatan 17 PLTN telah disetujui oleh Badan Pengawas Jepang. Ohi 3 dan 4 dinyalakan kembali pertengahan 2018, meski pemerintah Fukui belum setuju.
PLTN Sendai-1 (PWR 890 MW) beroperasi penuh 10 Sep 2015. PLTN Sendai-2 (PWR 890 MW) dinyalakan 15 Okt 2015. Sekitar 46 PLTN masih dipadamkan, 5 PLTN (berumur) dipadamkan permanen th 2015 (Genkai-1, Mihama-1, Mihama-2, dan Tsuruga-1), sehingga tinggal 43 PLTN yang berpotensi untuk dinyalakan. Lamanya proses penyalaan kembali adalah akibat dari proses persetujuan penduduk lokal untuk menyiapkan rencana evakuasi 30 km dari PLTN yang sebelumnya hanya 10 km dari PLTN.
Takahama-3 (PWR, 870MW) dinyalakan kembali tgl 23 Jan 2016, terkoneksi ke grid tgl 30 Jan 2016, tenaga penuh tgl 4 Feb 2016. Sebulan kemudian Takahama-4 (870MW) dinyalakan.
Ikata-3 (PWR, 890MW) dinyalakan Oktober 2018.
Genkai-3 (PWR, 1180MW) dinyalakan Mei 2018 dan Genkai-4 (PWR, 1180MW) dinyalakan Juli 2018.
Takahama-1 akan dinyalakan sesudah Agustus 2019, dan Takahama-2 dan Mihama-3 akan dinyalakan sesudah maret 2020. Sat ini mereka masi dikaji oleh

BWR  
BWR memerlukan sistem FCV (Filtered Containment Venting) guna mengurangi lepasan radioaktif saat keadaan darurat bila terjadi peningkatan gas H2 seperti kasus Fukushima yang menjebolkan 3 unit superstruktur. ERC (Pusat Tanggap Darurat yang baru, beroperasi 2018) dipasang di dekat unit Kashiwazaki-Kariwa (KK) 5, 6, & 7 yang didesain 1,5 kali 1209 gal (unit 1-4 2300 gal) dan tinggi tsunami 6,8 meter. Unit 6 & 7 diharapkan menyala 2020, unit 1 dan 5 menyala Maret 2022, unit 3 & 4 diservis 2025 yang dinyalakan lagi 2 tahun kemudian.

Program bebas PLTN tahun 2050 belum dihapus, dan pasokan EBT terus dipacu guna mengganti PLTN yang padam, agar  impor LNG dan BBM dapat segera dikurangi. 


Ditulis oleh: Fathurrachman Fagi, WA 0812-1088-1386; ffagi@yahoo.com